Minggu, 21 Juli 2013

Garuda dari Pulau Kecil

Ini adalah hari pertama ku masuk di sekolah dasar. Senangnya hati ini, karena tak banyak anak seusia ku dapat bersekolah. Dengan diantar oleh bapak, aku masuk kedalam ruang kelas lalu duduk di kursi kecil milik siswa yan telah disediakan. Sedkitdemi sedikit, terlihat pula anak-anak lainnya juga mengenakan baju kemeja putih tanpa bet dan bawahan merah, mereka mulai memenuhi ruang kelas dengan didampingi oleh bapak atau ibuk mereka.
Seorang perempuan cantik yang terlihat masih muda berseragam biru tua, masuk kedalam ruang kelas dengan sopannya dan menyapa kami, lalu ia duduk di bangku guru. Pandangan kami seua terjuru padanya. Di hadapan kami semua ia mulai menyampaikan sesuatu.
Guru : assalamualaikum, warahmatullahi wabarokatuh..
Orang2 : waalaikumsalam, warahmatulahi wabarokatuh..
Guru : perkenalkan, nama saya adalah iis Fadilah, saya adalah guru pengajar di sekolah Garuda ini. Saya ucapkan terima kasih banyak telah mempercayai sekolahkami untuk menitipkan putra-putri bapak ibu sekalian, dengan bantuan bapak dan ibu sekalian, kita akan dapat membentuk generasi Madura yang berkualitas dan berpotensi. Nah, anak-anakku sekalian, salam kenal, kalian boleh panggil ibu dengan sebutan bu iis. Sebelum kita mulai belajar,kalian harus berjanji kepada ibu untuk tidak malas belajar ya?
Anak2 : iya, bu..
Guru : sekarang silakan pamit, salim ke orang tuanya masing-masing karena setelah ini, kita akan melakukan upacara bendera. Bapak dan ibu sekalian di persilakan meninggalkan tempat.
Ku lihat sekeliling ku, anak-anak itu bersaliman ke oran tua nya masing-masing. Karena asyik melihat-lihat aku sampai lupa bersaliman ke bapakku sendiri. Digenggamnya tangan kanan ku oleh tangan kanannya lalu diarahkannya kehidungku (Salim). Lalu mereka mulai keluar kelas. Bu iis mengarahkan kami untuk menuju ke halaman sekolah. Aku terheran, apa maksudnya upacara bendera?.
Saat sampai di halaman sekolah, terlihat bapakku sedang melambai padaku, sepertinya ia sangat senang sekali melihat aku anaknya bersekolah.
Beberapa anak lainnya keluar dari dalam kelas. Dengan bet bertuliskan angka 5, ada yang 3, ada yang 4, dan 2. Siapa mereka, kok tidak diantar orang tuanya? Apa mereka menginap di sini? Ataukah mereka yatim piatu?
Pertanyaanku belum terjawab, karena memang tak ku ajukan ke orang lain, melainkan hanya ku pendam dalam hati, menunggu aku menemukan jawabannya sendiri.
Aku dan anak-anak yang tadi seruangan dengan ku, di tata berdiri kami sehingga kami baris dengan tertib. Lalu mulai ada komando dari salah satu orang, dan mulai bertingkah mereka di sebuah tiang, aku tak tahu maksud mereka, aku hanya melihat. Bendera putih dibuka,dan salah seorang berseru.
Orang : kepada sang merah putih, hormat grak !!
Lalu bu iis menyuruh kami untuk hormat menghadap bendera itu. Semakin bingung aku, warna bendera itu kan bukan merah putih, tapi merah kejinggaan dan putih kekuningan (mangkak). Belum banyak yang aku tahu soal ini. Keluarlah ekspresi bingung ku lalu aku tersenyum, karena ini kan jadi hal yang menyenangkan.
*****
(Beberapa tahun kemudian)
Pagi berganti malam dan tahun-tahun terus berjalan, aku yang dulunya duduk di bangku kelas 1 sekarang sudah menjadi siswa yang duduk di bangku kelas 2 SD. Selama setahun belakangan aku selalu menjadi siswa yang juara kelas, nilai tugas maupun ujian ku selalu mendapat nilai bagus. Sempat aku ditawarkan jabatan ketua kelas, namun aku menolaknya karena kata bapak itu akan menambah kesibukan dan mengurangi jam belajar ku di kelas.
Di sofa yang beberapa sisi pada kainnya robek, bapakku sedang asyik membaca Koran dan duduk disebelahnya adalah ibuku.
Aku : assalamualaikum..
Ortu : waalaikumsalam..
Bapak : sudah pulang nak?
Aku : sudah pak. Loh kok bapak di rumah? (duduk disamping bapak).
Jelas saja aku terheran, tak biasanya bapak ada di rumah saat aku pulang sekolah, bahkan sampai malam benar bapak baru pulang.
Bapak : iya, bapak ingin menghabiskan waktu bersama kalian berdua..
Aku : ohh.. (sambil melepas kaos kaki)
Ibu : gimana sekolahnya tadi, nak?
Aku : capek buk, tapi seru..
Ibu : ibu buatkan makan siang dulu ya?
aku : iya buk, makasih.. Oh iya, pak. Aku minta dibelikan buku bacaan baru dong..
bapak : memangnya disekolah tidak ada buku bacaan ya?
Aku : hemm, ada sih pak?
Bapak : ya baca buku yang ada di sekolah aja, nak..
Aku : tapi, jelek pak..
Bapak : ya tetap dibaca aja, nak. Semua buku itu ada ilmunya..
Aku : oh gitu, iya deh pak..
(Ibu datang dengan membawa makan siang)
Aku : huh, apa itu bu? Wiih baunya enak..
Ibu : ini makanan kesukaanmu, ayo buruan ganti bajunya kita makan bareng-bareng..
Aku : iya buk..
Bapak dan ibu kembali membaca Koran bersama, ternyata mereka sedang mencari lowongan pekerjaan untuk bapak yang baru saja di phk dari kantornya karena bangkrut. Karena tak ingin membuat anak satu-satunya kecewa mereka pun merahasiakan hal itu. Tak lama kemudian mereka menemukan suatu pekerjaan yang cocok, namun lokasinya di pulau seberang alias Surabaya. Tak lama kemudian pula, putra mereka datang lalu langsung duduk diantara mereka. Mereka pun makan siang bersama.
****
Pagi ini aku sengaja minta diantar bapak dengan lebih pagi, supaya aku dapat mencari buku bacaan di kelas. Sampai di kelas,tas punggungku ku letakkan diatas meja ku. Mendekati meja bu iis, lalu ku buka laci meanya yang tak terkunci, namun tak kutemui satupun buku bacaan. Belum sempat ku buka laci meja yang lain, suara bu iis mengalihkan pandaganku.
Bu iis : sedang apa, nak?
Aku : mencari buku bacaan, buk?
Bu iis : memang kita kekurangan buku bacaan, nak. Seandainya saja ada, kamu boleh baca buku apapun sesukamu.
Aku : iya, buk..
Bu iis : ya sudah, ibu ke ruang kepala sekolah dulu ya?
Aku : iya, buk..
Tas bu iis yang sengaja di letakkan di mejanya saat itu, membuat aku berpikir untuk mencari tahu apakah ada sebuah buku di sana. Sebenarnya tidak begitu yakin untuk melakukannya, tapi kata bu iis “seandainya saja ada, maka aku boleh baca buku sesuka ku”, ya ku cari saja.
Ternyata ada sebuah buku berukuran lebih kecil dari buku tulis ku. Ku buka, lalu ku baca.
Aku : sabtu malam di kamar sendirian, bertemankan sang rembulan yang juga sama sendirian. Hampir dua puluh lima tahun aku terbuka di dunia, namun tak sedikitpun ku rasakan hangatnya perasaan cinta.. ha? Buku apa ini?
Bukunya agak uang, dengan tulisan tangan yang sedikit mirip dengan paraf bu iis. Aku tak tertarik sama sekali. Mungkin karena isi bacaannya. Aku bingung, ilmu macam apa yang ditulis di sini.
Ku letakkan kembali buku itu. Lalu kembali duduk di bangku ku.
*****

Hari yang cerah, aku sampai di sekolah dengan diantar ibu ku. Bu iis telah duduk di mejanya dan saat aku masuk ke dalam kelas, kami memulai kegiatan belajar seperti biasanya. Hari ini cuaca lebih panas, dan mungkin karena itulah pikiranku melayang tak fokus dengan pelajaran yang disampaikan oleh bu iis. Padahal aku duduk di bangku paling depan, namun sesuatu seperti menutupi pandangannku, aku sama sekali tak tahu hal apa yang disampaikan oleh ibu guruku tersebut.
Tibanya pandanganku teralihkan oleh sesosok pria yang tingginya sama seperti bapakku, namun aku tak begitu penasaran, paling-paling itu orang lain. Semakin ia berjalan mendekati bu iis yang masih belum menyadari kehadirannya, semakin aku tak mau tahu, namunn benar ku rasakan hentak perlahan kakinya yang berjalan. Ku tutup mataku, dan ku palingkan kepalaku ke arah kiri, membayangkan jikalau orang itu adalah bapakku. Tapi mana mungkin, jam segini kan bapak bekerja.
Obrolan batinku terpecah, kala bu iis memanggilku. Dan terkejutnya hati ini, melihat bapakku yang berdiri disamping bu iis, tengah memandangku dengan senyuman lebar.
Bapak : permisi,buk.
Guru : silakan pak.
Bapak mengajakku keluar kelas. Suasananya hening. Padahal bapak berhiaskan senyum diwajahnya, tapi aku kok tak tersenyum sama sekali, seperti ada sesuatu yang mencegahku. Aku justru terheran,kenpa bapak dating kemari, perasaanku tak enak.
Duduklah kami di bawah pohon, dan mulai berbincang.
Bapak : kamu kenapa, nak? Tak enak badan?
Aku : tidak pak..
Bapak : lalu kenapa paras mu seperti itu?
Aku : heran aja, pak. Ada perlu apa bapak kemari? Bapak tidak pergi bekerja?
Bapak : loh, kamu tak senang jika bapak mengunjungimu ke sekolah?
Aku : bukannya begitu, pak. Aku senang sekali, namun perasaanku gak enak. Pasti bukan sembarang hal bapak kemari.
Bapak : bagaimana kamu tahu?
Aku : ya, begitulah pak..
Bapak : tapi ini kabar baik, nak..
Aku : apa itu, pak?
Bapak : bapak mendapatkan pekerjaan baru..
Aku : yang di pabrik itu, berarti..
Bapak : iya, bapak sudah tak bekerja disana.
Aku : kenapa, pak?
Bapak : di phk, nak.. pabriknya bangkrut..
Aku : lalu, pekerjaan baru yang bapak bilang tadi, dimana?
Bapak : di terminal bis kota. Di Surabaya..
Aku : jauhnya, pak.. nanti bapak pulangnnya jam berapa?
Bapak : bapak tak pulang..
Aku : pak..
Dadaku seakan teremas, napasku tak lancar. Terkejut, dan tak suka. Air mata menetes tanpa ku pandu, mereka turun melewati pipiku dan terbasuh oleh tangan bapak. Benar sudah apa yang ku rasakan sebelumnya. Firasat buruk terjadi. Pandanganku melayang memikirkan apa jadinya aku melewati hari-hari tanpa bapakku.
Bapak : nak.. bapak pasti pulang.. pasti!
Aku : tapi kapan pak?
Bapak : nanti kalau sempat.. Bapak sayang sekali sama kamu. Kamu jangan nakal ya, yang berbakti sama ibuk. Sekolahnya yang sungguh-sungguh. Bapak ingin kamu jadi orang yang besar, jangan jadi kayak bapak, Cuma sekedar sopir bis..
Ku peluk erat bapakku, dan digendongnya aku menuju kelas. Lalu aku duduk di bangku ku. Ku tundukkan kepala ku, tak mau teman-teman menyadari akan tangisan ku.
Di ciumnya kepala ku, lalu dapat ku rasakan hentak kakinya yang perlahan menjauh. Namun semakin ku rasakan, semakin mataku terpejam dan dalam pikiran ku membayangkan betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran bapak disetiap hariku.
Kala suara motornya terdengar, detak jantungkupun semakin berdenyut kencang, aku semakin tak kuasa. Tak ku pedulikan bu iis da kawan-kawanku yang sedang asyik belajar, dan ku berlari menghampiri bapakku berharap ia masih belum pergi. Benar bahagianya diriku saat kedua bola mata ini melihat sosok bapak yang masih belum beranjak pergi.
Aku : bapak..
Sangat ku ingat waktu itu, teriak ku dengan lepasnya. Serta tangis yang terluapkan. Perasaan takut seorang anak, jika akan di tinggal oleh bapaknya.
Bapak : nak, jangan begitu. Bapak cuman bekerja, sama seperti biasanya. Hanya saja kali ini bapak tidak sering tidur di rumah. Begitu saja.. jangan menangis..
Aku : jangan pak. Aku tak ingin tidur tanpa bapak di rumah..
Bapak : bapak juga, nak. Bapak juga tak ingin tidur jika tak di rumah. Tapi bapak tak bisa memilih, bapak bekerja demi kamu dan ibu mu.. juga demi bapak juga..
Aku : bapaak..
Bapak : sudah sana sama bu iis..
Bu iis mendekati kami, dan mulai memegang bahuku yang lebih rendah. Seakan dia mengajakku untuk kembali ke kelas.
Bu iis : anak ini akan jadi anak yang membanggakan, pak..
Bapak : saya titip ya, buk..
Bu iis : iya,pak. Saya akan berusaha..
Aku : bapak kapan pulangnya?
Bapak : bapak juga tidak tahu, nak.. bapak mungkin hanya bias kirim uang dan pulang saat lebaran tiba.. kamu sekolah yang pintar ya.. nanti bapak kirim buku bacaa ya..
Bu iis : ayo kembali ke kelas..
Sentuhan halus bu iis mulai membuatku tenang. Ku cium telapak tangan kanan bapakku,hikmat sekali. Aku akan sangat merindukanmu wahai bapakku sayang.
Mesin motor yang tadinya dimatikan, saat itu dinyalakan kembali. Namun kali ini, suara motornya tidak membuat jantungku berdenyut kencang, melainkan doa dan harapan yang mengalir deras dalam pikiranku. Berangkatlah wahai bapakku sayang, pulanglah dengan segera dan selamat. Aku akan berjuang demi harapan mu pula.
Berputarlah kedua roda motor itu, bapakku berangkat sudah. Aku dan bu iis memandangnya sampai tak terlihat, memastikan kepergiannya. Lalu kami kembali ke dalam kelas dengan bu iis yang masih memegang bahuku.
*****

Sudah hampir seminggu ini aku tidak merasakan kehadiran bapak di rumah, hanya ada aku dan ibu. Pagi ini adalah hari minggu, aku hanya berdiam diri di rumah. Terlamun membayangkan kehadiran bapak di rumah.
Ibu : nak, ini ada buku kiriman dari bapak..
Aku : ha? Mana, buk?
Ibu : ini, sayang…
Sebahagia apapun aku, tetap saja tak akan sempurna tanpa kehadiran bapak di samping ku.
Aku : kapan bapak mengantarnya, buk?
Ibu : bukan bapak yang mengantar, tapi dititipka ke pak samsul. Seandainya saja bapak sendiri yang mengantar, maka ibu akan sangat senang, nak. Karena ibuk sangat rindu bapakmu..
Aku : aku juga rindu bapak, buk..
Memikirkan betapa sulitnya tinggal berdua tanpa bapak. Ia pasti juga sangat merindukan aku dan ibu.
Pelukan ibu membuatku semakin terengah, semakin merasakan kesedihan seorang anak yang merindukan bapaknya.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar